Wish World (Chapter 1) ; Harapan
Jun, Jun Horizon, adalah salah satu anak kelas 8 SMP Persatuan. Dia anak yang normal seperti kita, bahkan bisa dibilang dia anak yang cerdas. Namun dia adalah anak yang hampir setiap waktu berimajinasi memiliki suatu kekuatan super.
Dia selalu menginginkan satu kekuatan super, yakni kekuatan yang biasa kita sebut Teleportasi. Dia pikir jika dia memiliki kekuatan tersebut, semua hal akan lebih mudah dilakukan. Dia tidak perlu capek-capek jalan jika ke sekolah, bisa berada di satu tempat yang ia inginkan dengan sekejap, dan hal-hal lain yang berkecamuk di kepalanya. Sayangnya, dia tidak memiliki kekuatan tersebut, itu yang ia pikirkan.
Satu pagi yang cerah, Jun berangkat ke sekolah seperti biasa. Melewati perempatan toko, melewati jalan di tepi persawahan, dan hal-hal biasa lainnya. Namun ketika ia sampai dekat sebuah ruko, ia melihat ada seorang gadis yang sedang diganggu oleh beberapa pemuda berandalan. Ketika ia menyadari bahwa gadis itu mengenakan seragam yang sama dengannya, ia langsung bergegas menolongnya. Dan setelah melalui adegan kekerasan dimana Jun yang jago beladiri menghajar para pemuda itu, mereka berdua melanjutkan perjalanan ke sekolah mereka, SMP Persatuan.
“Terima kasih, aku tidak tau apa yang akan terjadi jika kau tidak datang tadi.”
“Sama-sama, lagipula jika aku tidak datang mungkin orang lain akan menolongmu ketika kau berteriak minta tolong.” Balas Jun.
“Mungkin, aku tidak terlalu yakin akan hal itu. Perkenalkan, namaku Lucy, tapi kau bisa memanggilku Cici. Dan sepertimu, aku juga siswi dari SMP Persatuan, kelas 8.”
“Aku Jun, salam kenal. Lebih baik kita bergegas atau kita bisa terlambat.”
Dan mereka berdua berjalan menuju sekolah mereka dengan sedikit lebih cepat.
Kehidupan di sekolah Jun berjalan seperti biasa. Pelajaran Matematika, kemudian bahasa, istirahat, ke kantin, dan hal-hal biasa lainnya. Hingga bel pulang berbunyi dan semua anak bersiap untuk pulang ke rumah masing-masing.
Jun pun melangkah meninggalkan kelas, menyapa beberapa teman yang ia lalui, dan akhirnya sampai di gerbang sekolah. Dan ia mendengar ada yang memanggil namanya, dan ia menoleh. Dan ternyata itu Cici, dia menghampiri Jun.
“Hai Jun, kau mau pulang?”
“Tentu saja, kau mau bareng?” Tawar Jun.
“Eh? Bolehkah?” Tanya Cici agak kaget.
“Boleh saja, ayo buruan.” Jun mulai melangkah meninggalkan sekolah. Cici mengejarnya untuk mengimbanginya. Dan mereka jalan bersama.
Setelah berjalan beberapa menit, mereka sampai di taman. Cici mengajak Jun untuk singgah sebentar di taman bersamanya.
“Jun, bolehkah aku jika pulang bersamamu terus mulai dari sekarang. Pulang sendirian rasanya sungguh tidak enak.” Kata Cici sembari duduk di ayunan yang tidak terlalu tinggi.
“Hmm, kukira tidak masalah. Aku biasanya juga pulang sendirian.” Jun duduk di bangku dekat ayunan.
“Yeay, kau sangat baik Jun.” Cici tampak sangat gembira.
“Ah tidak, aku tidak sebaik itu kok.”
“Kau selalu saja merendah. Hei lihat langit itu, menurutku sangatlah indah.”
Mereka melihat langit sore yang menurut mereka indah. Langit yang bersih dengan sedikit awan. Dengan semburat jingga akibat matahari yang sebentar lagi mau tenggelam.
Dan tiba-tiba, mereka melihat kilatan cahaya putih di langit. Namun dengan cepat kilatan cahaya itu melebar dan menjadi cahaya yang sangat terang. Mereka berdua kaget dan terjatuh dari tempat duduk masing-masing.
“Ci, apa kau juga melihat yang barusan?”
“Jika yang kau maksud adalah cahaya putih yang sangat terang tadi, aku juga melihatnya.” Jawab Cici dengan tersenyum.
“Apa itu tadi?”
“Aku juga tidak tau. Ngomong-ngomong, sudah mau petang nih. Pulang yuk.”
“Baiklah, ayo kita pulang.”
Mereka berdua pun melanjutkan perjalanan pulang mereka.
Jun sampai rumah setelah berpisah dengan Cici di salah satu perempatan yang ia lalui. Karena ia agak telat pulang, ibunya menanyainya dan Jun menjawab dengan jawaban seadanya dan tidak ada kebohongan. Langsung saja ia mandi lalu makan malam keluarga bersama ayah, ibu dan adiknya, Jul.
Setelah itu ia masuk ke kamarnya untuk mengerjakan beberapa tugas sekolah. Jujur saja, Jun anak yang rajin. Dalam beberapa menit ia memilih untuk membaca salah satu komiknya karena sudah menyelesaikan setengah tugasnya. Dan setelah satu volume komik sudah selesai, ia kembali menyelesaikan tugasnya. Selanjutnya ia naik ke tempat tidur setelah tugasnya selesai dan membereskan tempat tidurnya. Ia terlentang, memejamkan mata, berharap di mimpinya ia bisa menjadi seorang pahlawan yang memiliki kekuatan teleportasi, menghitung domba, dan tidur.
Tiba-tiba saja Jun membuka mata, dan ia tidak berada di kamarnya, di ranjangnya. Alih-alih ia berada di tengah hamparan padang rumput yang sangat luas. Ia kaget, dan lebih kaget lagi ketika ia sadar disampingnya ada seseorang dengan jubah serta tudung hitam berdiri dan memegang tongkatnya. Jun sontak berdiri dan agak menjauh dari orang itu.
“Hei, aku dimana? Dan, siapa kau?”
“Tenanglah Jun, bisa dibilang kau lagi di dunia mimpi, tepatnya di alam bawah sadarmu. Dan siapa aku, mungkin kau bisa memanggilku Wish.”
“Bagaimana kau bisa tau namaku?”
“Hmm, kukira itu tidak penting. Bagaimana kalau kita langsung ke intinya?”
“Apa, kau akan melukaiku?”
“Oh tidak, sama sekali. Aku tidak suka melakukan hal seperti itu.”
“Lalu, apa inti dari semua ini?” Tanya Jun dengan agak bingung.
“Jika aku bisa memberimu kekuatan, kekuatan super, apa yang ingin kau miliki?”
“Hei jangan bercanda Wish, mana mungkin kau bisa?”
“Tentu aku bisa, mengapa aku menawarimu jika aku tidak bisa?”
“Mungkin kau hanya mempermainkanku, atau mungkin ini hanyalah bunga tidur?”
“Karena kau saat ini sedang tidur, mungkin bisa dibilang begitu.”
“Baiklah aku akan menjawab, lagipula aku menjawab atau tidak menjawab mungkin tidak akan ada bedanya di kehidupan nyataku. Aku ingin kekuatan Teleportasi, kau tahu kan? Kita bisa berpindah tempat dalam sekejap mata.”
“Tentu saja aku tahu, kau kira aku sekuno itu hah!”
“Hehe, maaf. Aku sangat senang jika kau bisa mengabulkannya.”
“Tentu aku bisa, tapi apa kau yakin cuma itu saja? Cuma Teleportasi?”
“Cuma? Ya Cuma itu saja! Itupun jika kau benar-benar bisa mengabulkannya. Jujur saja aku sangat ingin bisa berteleportasi.” Jawab Jun dengan agak jengkel.
“Oke, maaf jika kau merasa tidak enak dengan kata-kataku barusan. Tunjukan seberapa besar kau menginginkan kekuatan itu. Sampai jumpa, Jun.”
Dan Wish pun menghilang, semuanya menjadi gelap, dan Jun kembali ke tidurnya. Tidur normal tanpa ada orang yang masuk ke alam bawah sadarnya, lagi.
Hari-hari Jun sebagai anak kelas 8 di SMP Persatuan pun berlanjut. Diawali dengan kegiatan sehari-hari seperti biasa, mandi, sarapan, dan menyiapkan beberapa buku, dan Jun berangkat ke sekolah. Seperti biasa dia melewati beberapa toko, melewati tanah sawah yang hijau asri, dan sampailah ia di jalan di dekat sebuah perempatan yang biasanya ramai.
Ia kaget seketika, melihat Cici ada di tengah jalan dan kelihatan bingung. Dan ia mendengar suara klakson di salah satu arah jalan yang mengarah ke Cici, hendak menabraknya karena sudah sangat dekat. Jun pun berlari, mencoba menyelamatkan Cici. Namun ia sadar bahwa tidak akan sampai, jarak yang masih lumayan jauh dan waktu yang tidak banyak membuat ia berpikir bahwa usahanya tidak akan berhasil. Lalu ia teringat mimpinya semalam, dan ia berkata dalam hati, “Seandainya aku benar-benar memiliki kekuatan itu, mungkin aku bisa menyelamatkan Cici dan membawanya ke tempat aman.” Dan seketika pula, Jun juga sangat kaget, tiba-tiba ia sudah di samping Cici. Karena adrenalin yang sudah terpacu dan melihat ada sebuah mobil bergerak ke arah mereka, Jun sontak memegang tangan Cici dan hal itu terjadi lagi, ia dan Cici tiba-tiba sudah ada di taman yang mereka singgahi kemarin sore.
“Huft, terima kasih Jun. Untung saja kau bisa menyelamatkanku.”
“Sama-sama, eh bukan. Maksudku, bagaimana semua ini terjadi? Dan kenapa kita bisa disini?”
Cici melihat sekeliling.
“Eh? Tadi tiba-tiba aku ada di tengah jalan. Dan baru saja aku tiba-tiba ada di taman. Ada apa dengan hari ini.” Cici menatap Jun dengan heran.
“Tiba-tiba di tengah jalan? Itu yang membuatmu bingung di tengah jalan tadi dan tidak menepi tadi?” Jun tak kalah heran.
“Tepat sekali.” Jawab Cici dengan semangat dan senyum khas-nya.
“Aku tidak tau apa yang terjadi, tapi lebih baik kita berangkat ke sekolah sekarang. Lihat sudah jam berapa ini.” Jun melihatkan jam di tangan kanannya pada Cici.
“Eh, kok sudah jam segini. Ayo Jun kita bisa terlambat nanti.”
“Ayo, nanti waktu istirahat temui aku di taman sekolah. Kita harus membicarakan ini.”
“Siap bos.” Dengan cengiran khas Cici.
Dan mereka berjalan dengan sedikit tergesa-gesa, takut terlambat.
Jun, Jun Horizon, adalah salah satu anak kelas 8 SMP Persatuan. Dia anak yang normal seperti kita, bahkan bisa dibilang dia anak yang cerdas. Namun dia adalah anak yang hampir setiap waktu berimajinasi memiliki suatu kekuatan super.
Dia selalu menginginkan satu kekuatan super, yakni kekuatan yang biasa kita sebut Teleportasi. Dia pikir jika dia memiliki kekuatan tersebut, semua hal akan lebih mudah dilakukan. Dia tidak perlu capek-capek jalan jika ke sekolah, bisa berada di satu tempat yang ia inginkan dengan sekejap, dan hal-hal lain yang berkecamuk di kepalanya. Sayangnya, dia tidak memiliki kekuatan tersebut, itu yang ia pikirkan.
Satu pagi yang cerah, Jun berangkat ke sekolah seperti biasa. Melewati perempatan toko, melewati jalan di tepi persawahan, dan hal-hal biasa lainnya. Namun ketika ia sampai dekat sebuah ruko, ia melihat ada seorang gadis yang sedang diganggu oleh beberapa pemuda berandalan. Ketika ia menyadari bahwa gadis itu mengenakan seragam yang sama dengannya, ia langsung bergegas menolongnya. Dan setelah melalui adegan kekerasan dimana Jun yang jago beladiri menghajar para pemuda itu, mereka berdua melanjutkan perjalanan ke sekolah mereka, SMP Persatuan.
“Terima kasih, aku tidak tau apa yang akan terjadi jika kau tidak datang tadi.”
“Sama-sama, lagipula jika aku tidak datang mungkin orang lain akan menolongmu ketika kau berteriak minta tolong.” Balas Jun.
“Mungkin, aku tidak terlalu yakin akan hal itu. Perkenalkan, namaku Lucy, tapi kau bisa memanggilku Cici. Dan sepertimu, aku juga siswi dari SMP Persatuan, kelas 8.”
“Aku Jun, salam kenal. Lebih baik kita bergegas atau kita bisa terlambat.”
Dan mereka berdua berjalan menuju sekolah mereka dengan sedikit lebih cepat.
Kehidupan di sekolah Jun berjalan seperti biasa. Pelajaran Matematika, kemudian bahasa, istirahat, ke kantin, dan hal-hal biasa lainnya. Hingga bel pulang berbunyi dan semua anak bersiap untuk pulang ke rumah masing-masing.
Jun pun melangkah meninggalkan kelas, menyapa beberapa teman yang ia lalui, dan akhirnya sampai di gerbang sekolah. Dan ia mendengar ada yang memanggil namanya, dan ia menoleh. Dan ternyata itu Cici, dia menghampiri Jun.
“Hai Jun, kau mau pulang?”
“Tentu saja, kau mau bareng?” Tawar Jun.
“Eh? Bolehkah?” Tanya Cici agak kaget.
“Boleh saja, ayo buruan.” Jun mulai melangkah meninggalkan sekolah. Cici mengejarnya untuk mengimbanginya. Dan mereka jalan bersama.
Setelah berjalan beberapa menit, mereka sampai di taman. Cici mengajak Jun untuk singgah sebentar di taman bersamanya.
“Jun, bolehkah aku jika pulang bersamamu terus mulai dari sekarang. Pulang sendirian rasanya sungguh tidak enak.” Kata Cici sembari duduk di ayunan yang tidak terlalu tinggi.
“Hmm, kukira tidak masalah. Aku biasanya juga pulang sendirian.” Jun duduk di bangku dekat ayunan.
“Yeay, kau sangat baik Jun.” Cici tampak sangat gembira.
“Ah tidak, aku tidak sebaik itu kok.”
“Kau selalu saja merendah. Hei lihat langit itu, menurutku sangatlah indah.”
Mereka melihat langit sore yang menurut mereka indah. Langit yang bersih dengan sedikit awan. Dengan semburat jingga akibat matahari yang sebentar lagi mau tenggelam.
Dan tiba-tiba, mereka melihat kilatan cahaya putih di langit. Namun dengan cepat kilatan cahaya itu melebar dan menjadi cahaya yang sangat terang. Mereka berdua kaget dan terjatuh dari tempat duduk masing-masing.
“Ci, apa kau juga melihat yang barusan?”
“Jika yang kau maksud adalah cahaya putih yang sangat terang tadi, aku juga melihatnya.” Jawab Cici dengan tersenyum.
“Apa itu tadi?”
“Aku juga tidak tau. Ngomong-ngomong, sudah mau petang nih. Pulang yuk.”
“Baiklah, ayo kita pulang.”
Mereka berdua pun melanjutkan perjalanan pulang mereka.
Jun sampai rumah setelah berpisah dengan Cici di salah satu perempatan yang ia lalui. Karena ia agak telat pulang, ibunya menanyainya dan Jun menjawab dengan jawaban seadanya dan tidak ada kebohongan. Langsung saja ia mandi lalu makan malam keluarga bersama ayah, ibu dan adiknya, Jul.
Setelah itu ia masuk ke kamarnya untuk mengerjakan beberapa tugas sekolah. Jujur saja, Jun anak yang rajin. Dalam beberapa menit ia memilih untuk membaca salah satu komiknya karena sudah menyelesaikan setengah tugasnya. Dan setelah satu volume komik sudah selesai, ia kembali menyelesaikan tugasnya. Selanjutnya ia naik ke tempat tidur setelah tugasnya selesai dan membereskan tempat tidurnya. Ia terlentang, memejamkan mata, berharap di mimpinya ia bisa menjadi seorang pahlawan yang memiliki kekuatan teleportasi, menghitung domba, dan tidur.
Tiba-tiba saja Jun membuka mata, dan ia tidak berada di kamarnya, di ranjangnya. Alih-alih ia berada di tengah hamparan padang rumput yang sangat luas. Ia kaget, dan lebih kaget lagi ketika ia sadar disampingnya ada seseorang dengan jubah serta tudung hitam berdiri dan memegang tongkatnya. Jun sontak berdiri dan agak menjauh dari orang itu.
“Hei, aku dimana? Dan, siapa kau?”
“Tenanglah Jun, bisa dibilang kau lagi di dunia mimpi, tepatnya di alam bawah sadarmu. Dan siapa aku, mungkin kau bisa memanggilku Wish.”
“Bagaimana kau bisa tau namaku?”
“Hmm, kukira itu tidak penting. Bagaimana kalau kita langsung ke intinya?”
“Apa, kau akan melukaiku?”
“Oh tidak, sama sekali. Aku tidak suka melakukan hal seperti itu.”
“Lalu, apa inti dari semua ini?” Tanya Jun dengan agak bingung.
“Jika aku bisa memberimu kekuatan, kekuatan super, apa yang ingin kau miliki?”
“Hei jangan bercanda Wish, mana mungkin kau bisa?”
“Tentu aku bisa, mengapa aku menawarimu jika aku tidak bisa?”
“Mungkin kau hanya mempermainkanku, atau mungkin ini hanyalah bunga tidur?”
“Karena kau saat ini sedang tidur, mungkin bisa dibilang begitu.”
“Baiklah aku akan menjawab, lagipula aku menjawab atau tidak menjawab mungkin tidak akan ada bedanya di kehidupan nyataku. Aku ingin kekuatan Teleportasi, kau tahu kan? Kita bisa berpindah tempat dalam sekejap mata.”
“Tentu saja aku tahu, kau kira aku sekuno itu hah!”
“Hehe, maaf. Aku sangat senang jika kau bisa mengabulkannya.”
“Tentu aku bisa, tapi apa kau yakin cuma itu saja? Cuma Teleportasi?”
“Cuma? Ya Cuma itu saja! Itupun jika kau benar-benar bisa mengabulkannya. Jujur saja aku sangat ingin bisa berteleportasi.” Jawab Jun dengan agak jengkel.
“Oke, maaf jika kau merasa tidak enak dengan kata-kataku barusan. Tunjukan seberapa besar kau menginginkan kekuatan itu. Sampai jumpa, Jun.”
Dan Wish pun menghilang, semuanya menjadi gelap, dan Jun kembali ke tidurnya. Tidur normal tanpa ada orang yang masuk ke alam bawah sadarnya, lagi.
Hari-hari Jun sebagai anak kelas 8 di SMP Persatuan pun berlanjut. Diawali dengan kegiatan sehari-hari seperti biasa, mandi, sarapan, dan menyiapkan beberapa buku, dan Jun berangkat ke sekolah. Seperti biasa dia melewati beberapa toko, melewati tanah sawah yang hijau asri, dan sampailah ia di jalan di dekat sebuah perempatan yang biasanya ramai.
Ia kaget seketika, melihat Cici ada di tengah jalan dan kelihatan bingung. Dan ia mendengar suara klakson di salah satu arah jalan yang mengarah ke Cici, hendak menabraknya karena sudah sangat dekat. Jun pun berlari, mencoba menyelamatkan Cici. Namun ia sadar bahwa tidak akan sampai, jarak yang masih lumayan jauh dan waktu yang tidak banyak membuat ia berpikir bahwa usahanya tidak akan berhasil. Lalu ia teringat mimpinya semalam, dan ia berkata dalam hati, “Seandainya aku benar-benar memiliki kekuatan itu, mungkin aku bisa menyelamatkan Cici dan membawanya ke tempat aman.” Dan seketika pula, Jun juga sangat kaget, tiba-tiba ia sudah di samping Cici. Karena adrenalin yang sudah terpacu dan melihat ada sebuah mobil bergerak ke arah mereka, Jun sontak memegang tangan Cici dan hal itu terjadi lagi, ia dan Cici tiba-tiba sudah ada di taman yang mereka singgahi kemarin sore.
“Huft, terima kasih Jun. Untung saja kau bisa menyelamatkanku.”
“Sama-sama, eh bukan. Maksudku, bagaimana semua ini terjadi? Dan kenapa kita bisa disini?”
Cici melihat sekeliling.
“Eh? Tadi tiba-tiba aku ada di tengah jalan. Dan baru saja aku tiba-tiba ada di taman. Ada apa dengan hari ini.” Cici menatap Jun dengan heran.
“Tiba-tiba di tengah jalan? Itu yang membuatmu bingung di tengah jalan tadi dan tidak menepi tadi?” Jun tak kalah heran.
“Tepat sekali.” Jawab Cici dengan semangat dan senyum khas-nya.
“Aku tidak tau apa yang terjadi, tapi lebih baik kita berangkat ke sekolah sekarang. Lihat sudah jam berapa ini.” Jun melihatkan jam di tangan kanannya pada Cici.
“Eh, kok sudah jam segini. Ayo Jun kita bisa terlambat nanti.”
“Ayo, nanti waktu istirahat temui aku di taman sekolah. Kita harus membicarakan ini.”
“Siap bos.” Dengan cengiran khas Cici.
Dan mereka berjalan dengan sedikit tergesa-gesa, takut terlambat.
No comments:
Post a Comment